Al-Bushiri dan Qasidah al-Burdah



Amin tadzakurin jiranin bi Dzi Salami
Mazajta dam ‘an jara min muqlatin bi dami;
Apakah karena terkenang tetangga mulia di Dzu Salam
Kau curahkan air mata bercampur darah dari rongga matamu;

Petikan bait syair di atas sangat akrab di telinga kita, apalagi dikalangan pesantren. Karena rangkaian syair bait pertama ini hingga kini masih selalu dibaca di sebagian pesantren-pesantren salaf dan pada peringatan Maulid Nabi. Di kalangan masyarakat Hulu Sungai Utara, pembacaan Qasidah ini merupakan kegiatan rutin mingguan di Langgar-langgar dan di rumah-rumah, baik perorangan maupun berjamaah.
Itulah Qasidah al-Burdah atau disebut juga dengan al-Burdah al-Madieh, salah satu karya paling populer dalam khazanah sastra Islam. Isinya, sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan. merupakan salah satu syair pujian kepada Rasulullah Saw. yang sangat digemari oleh umat Islam. Karena kepopulerannya Qasidah ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, seperti Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum, Melayu, Sindi, Indonesia, Inggris, Prancis, Jerman dan Italia.
Seorang dosen jurusan Sastra Asia Barat pada Fakultas Budaya Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta Drs. Fadlil Munawwar Manshur MS., ketika mempertahankan desertasinya dalam sidang mencapai gelar Doktoralnya mengatakan: "Produk-produk masa lampau seperti Qasidah Burdah, masih memiliki relevansi tinggi pada kehidupan masa kini dan masa depan. Oleh karena itu, perlu dilakukan usaha menumbuhkan kemampuan masyarakat, terutama masyarakat akademis dalam mengangkat nilai-nilai warisan budaya".
Pengarang Qasidah Burdah ialah Imam al-Bushiri (610-695H/ 1213-1296 M). Nama lengkapnya, Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Sa'id bin hamad al-Bushiri. Dia keturunan Berber yang lahir di Dallas, Maroko dan dibesarkan di Bushir, Mesir, Dia seorang murid Sufi besar, Imam Abul Hasan as-Syadzili dan penerusnya yang bernama Abul Abbas al-Mursi - anggota Tarekat Syadziliyah. Di bidang ilmu fiqih, al-Bushiri menganut mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab fiqih mayoritas di Mesir.
Di masa kecilnya, ia dididik oleh ayahnya sendiri dalam mempelajari Al-Qur'an di samping berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama di zamannya. Untuk memperdalam ilmu agama dan kesusateraan Arab ia pindah ke Kairo. Di sana ia menjadi seorang sastrawan dan penyair yang ulung. Kemahirannya di bidang sastra syair ini melebihi para penyair pada zamannya. Karya-karya kaligrafinya juga terkenal indah.
Sebagian ahli sejarah menyatakan, bahwa ia mulanya bekerja sebagai penyalin naskah-naskah. Louis Ma’luf juga menyatakan demikian di dalam Kamus Munjibnya.
Sastrawan Mesir terkenal, DR. Zaki Mubarak, dalam bukunya; "al-Madaih an-Nabawiyyah wa atsaruha fi al-Adabi al-'Araby" menguraikan dengan panjang lebar mengenai al-mada’ih an-nabawiyah. Menurutnya, syair semacam itu dikembangkan oleh para sufi sebagai cara untuk mengungkapkan perasaan religius yang Islami.
Qasidah al-Burdah terdiri atas 160 bait (sajak), ditulis dengan uslub(gaya bahasa) yang menarik, lembut dan elegan, berisi panduan ringkas mengenai kehidupan Nabi Muhammad Saw., cinta kasih, pengendalian hawa nafsu, doa, pujian terhadap Al Quran, Isra’ Mi’raj, jihad dan tawasul.
Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, al-Bushiri bukan saja menanamkan kecintaan umat Islam kepada Nabinya, tetapi juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral kepada kaum Muslimin. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika Qasidah al-Burdah senantiasa dibacakan di pesantren-pesantren salaf, bahkan menurut Zaki Mubarak, karya al-Bushiri ini diajarkan dan dibaca secara berjamaah pada tiap hari Kamis dan Jum'at di Universitas AI-Azhar, Kairo. Begitu juga di negeri Syam, diadakan majlis-majlis pembacaan Burdah secara berpindah-pindah dari rumah ke rumah dan dihadiri oleh ulama-ulama terkenal Damascus ketika itu.
Al-Bushiri hidup pada suatu masa transisi perpindahan kekuasaan dinasti Ayyubiyah ke tangan dinasri Mamalik Bahriyah. Pergolakan politik terus berlangsung, akhlak masyarakat merosot, para pejabat pemerintahan mengejar kedudukan dan kemewahan. Maka munculnya Qasidah al-Burdah itu merupakan reaksi terhadap situasi politik, sosial, dan kultural pada masa itu, agar mereka senantiasa mencontoh kehidupan Nabi yang bertungsi sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik), mengendalikan hawa nafsu, kembali kepada ajaran agama yang murni, Al-Quran dan Hadits.

Sejarah Ringkas Qasidah Al-Burdah


Al-Burdah menurut etimologi banyak mengandung arti, antara lain :
1. Baju (jubah) kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atribut khalifah. Dengan atribut burdah ini, seorang khalifah bisa dibedakan dengan pejabat negara lainnya, teman-teman dan rakyatnya.
2. Nama dari qasidah yang dipersembahkan kepada Rasulullah SAW yang digubah oleh Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma.
Pada mulanya, al-burdah (dalam pengertian jubah) ini adalah milik Nabi Muhammad Saw. yang diberikan kepada Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma, seorang penyair terkenal Muhadramin (penyair dua zaman: Jahiliyah dan Islam). Burdah yang telah menjadi milik keluarga Ka’ab tersebut akhirnya dibeli oleh Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan seharga duapuluh ribu dirham, dan kemudian dibeli lagi. oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dari dinasti Abbasiyah dengan harga empat puluh ribu dirham. Oleh khalifah, burdah itu hanya dipakai pada setiap shalat Ied dan diteruskan secara turun temurun.
Riwayat pemberian burdah oleh Rasulullah Saw. kepada Ka’ab bin Zuhair bermula dari Ka’ab yang menggubah syair yang senantiasa menjelek-jelekkan Nabi dan para sahabat. Karena merasa terancam jiwanya, ia lari bersembunyi untuk menghindari luapan amarah para sahabat. Ketika terjadi penaklukan Kota Makkah, saudara Ka’ab yang bernama Bujair bin Zuhair mengirm surat kcpadanya, yang isinya antara lain anjuran agar Ka’ab pulang dan menghadap Rasulullah, karena Rasulullah tidak akan membunuh orang yang kembali (bertobat). Setelah memahami isi surat itu, ia berniat pulang kembali ke rumahnya dan bertobat.
Kemudian Ka’ab berangkat menuju Madinah. Melalui ‘tangan’ Abu Bakar Siddiq, di sana ia menyerahkan diri kepada Rasulullah Saw. Ka’ab memperoleh sambutan penghormatan dari Rasulullah. Begitu besarnya rasa hormat yang diberikan kepada Ka’ab, sampai-sampai Rasulullah melepaskan burdahnya dan memberikannya kepada Ka’ab.
Ka’ab kemudian menggubah qasidah yang terkenal dengan sebutan Banat Su’ad (Putri-putri Su’ad), terdiri atas 59 bait (puisi). Kasidah ini disebut pula dengan Qasidah al-Burdah. la ditulis dengan indahnya oleh kaligrafer Hasyim Muhammad al-Baghdadi di dalam kitab kaligrafi-nya, Qawaid al-Khat al-Arabi.
Di samping itu, ada sebab-sebab khusus dikarangnya Qasidah Burdah itu, yaitu ketika al-Bushiri menderita sakit lumpuh, sehingga ia tidak dapat bangun dari tempat tidurnya, maka dibuatnya syair-syair yang berisi pujian kepada Nabi, dengan maksud memohon syafa’afnya. Di dalam tidurnya, ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW. di mana Nabi mengusap wajah al-Bushiri, kemudian Nabi melepaskan jubahnya dan mengenakannya ke tubuh al-Bushiri, dan saat ia bangun dari mimpinya, seketika itu juga ia sembuh dari penyakitnya.

Pemikiran-Pemikiran al-Bushiri dalam Al-Burdah
Burdah dimulai dengan nasib, yaitu ungkapan rasa pilu atas dukacita yang dialami penyair dan orang yang dekat dengannya, yaitu tetangganya di Dzu Salam, Sudah menjadi kelaziman bagi para penyair Arab klasik dalam mengawali karya syairnya selalu merujuk pada tempat di mana ia memperoleh kenangan mendalam dalam hidupnya, khususnya kampung halamannya. Inilah nasib yang diungkapkan Bushiri pada awal bait :


Amin tadzakurin jiranin bi Dzi Salami
Mazajta dam ‘an jara min muqlatin bi dami;
Apakah karena terkenang tetangga mulia di Dzu Salam
Kau curahkan air mata bercampur darah dari rongga matamu;

Kemudian ide-ide al-Bushiri yang penting dilanjutkan dengan untaian-untaian yang menggambarkan visi yang bertalian dengan ajaran-ajaran tentang pengendalian hawa nafsu. Menurut dia, nafsu itu bagaikan anak kecil, apabila diteruskan menetek, maka ia akan tetap saja suka menetek. Namun jika ia disapih, ia pun akan berhenti dan tidak suka menetek lagi. Pandangan al-Bushiri tentang nafsu tersebut terdapat pada bait ke-18, yang isinya antara lain :

Wa an-nafsu kattifli in tuhmiihu syabba ‘ala
Hubbi ar-radha’i wa in tufhimhu yanfatimi
Nafsu bagaikan anak kecil, yang bila dibiarkan menetek
Ia akan tetap menetek sampai mudanya. Dan bila disapih ia akan melepaskannya.

Dalam ajaran pengendalian hawa nafsu, al-Bushiri menganjurkan agar kehendak hawa nafsu dibuang jauh-jauh, jangan dimanjakan dan dipertuankan, karena nafsu itu sesat dan menyesatkan. Keadaan lapar dan kenyang, kedua-duanya dapat merusak, maka hendaknya dijaga secara seimbang. Ajakan dan bujukan nafsu dan setan hendaknya dilawan sekuat tenaga, jangan diperturutkan (bait 19-25).
Selanjutnya, ajaran Imam al-Bushiri dalam Burdahnya yang terpenting adalah pujian kepada Nabi Muhammad SAW. la menggambarkan betapa Nabi diutus ke dunia untuk menjadi lampu yang menerangi dua alam : manusia dan Jin, pemimpin dua kaum : Arab dan bukan Arab. Beliau bagaikan permata yang tak ternilai, pribadi yang tertgosok oleh pengalaman kerohanian yang tinggi. Al-Bushiri melukiskan tentang sosok Nabi Muhammad seperti dalam bait 34-59 :

Muhammadun sayyidui kaunain wa tsaqaulai
Ni wal fariqain min urbln wa min ajami
Muhammad adalah penghulu dua alam : manusia dan jin
Pemimpin dua kaum : Arab dan bukan Arab.

Pujian al-Bushiri pada Nabi tidak terbatas pada sifat dan kualitas pribadi, tetapi mengungkapkan kelebihan Nabi yang paling utama, yaitu mukjizat paling besar dalam bentuk Al Quran, mukjizat yang abadi. Al Quran adalah kitab yang tidak mengandung keraguan, pun tidak lapuk oleh perubahan zaman, apalagi ditafsirkan dan dipahami secara arif dengan berbekal pengetahuan dan ma'rifat. Hikmah dan kandungan al-Qur'an memiliki relevansi yang abadi sepanjang masa dan selalu memiliki konteks yang luas dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat temporal. Kitab Al Quran solamanya hidup dalam ingatan dan jiwa umat Islam.
Selain Qasidah al-Burdah, al-Bushiri juga menulis beberapa kasidah lain di antaranya a!-Qashidah al-Mudhariyah dan al-Qasidah al-Hamaziyyah. Sisi lain dari profil al-Bushiri ditandai oleh kehidupannya yang sufistik, tercermin dari kezuhudannya, tekun beribadah, tidak menyukai kemewahan dan kemegahan duniawi.
Di kalangan para sufi, ia termasuk dalam deretan sufi-sufi besar. Sayyid Mahmud Faidh al-Manufi menulis di dalam bukunya, Jamharat al-Aulia. bahwa al-Bushiri tetap konsisten dalam hidupnya sebagai seorang sufi sampai akhir hayatnya. Makamnya yang terletak di Alexandarea, Mesir, sampai sekarang masih dijadikan tempat ziarah. Makam itu berdampingan dengan makam gurunya, Abul Abbas al-Mursi. Wallahu A'lam.

Dikutip dari berbagai sumber

Populer